Mayor Jenderal TNI Kosasih, Dari Marbot ke Medan Juang

Mayor Jenderal TNI Kosasih dari Marbot Ke Medan Juang
Mayor Jenderal TNI Kosasih dari Marbot Ke Medan Juang. (foto: istimewa)

Mayor Jenderal  TNI Kosasih Sekretaris Militer Presiden RI/ Ketua DPA IKAL Lemhannas PPRA LXII) bersama Hakim Agung Kamar Agama Dr Drs H Sirajuddin Sailellah

Pagi itu, kami terhenyak ketika masuk ruang kerja Sekretaris Militer Presiden di kompleks Istana. Impresi pertama adalah lukisan Mayjen TNI Kosasih sedang menggendong Sang Ibu. Ruangnya terbuka tidak ada kesan angker pejabat apalagi militer.

Mayjen TNI Kosasih bukanlah nama asing di dunia militer Indonesia. Apalagi dengan posisi yang diamanahkan kepadanya sejak 31 Oktober 2024 yaitu sebagai Sekretaris Militer Presiden (Setmilpres), di Kementrian Sekretaris Negara. Namun, banyak yang tidak tahu bahwa perjalanannya menjadi seorang perwira tinggi Kopassus TNI berawal dari kisah yang menghentakan hatinya.

Ketika itu ia melihat seorang tentara yang sedang mabuk, marah dan mengancam seorang penjual mie ayam yang dianggapnya telah lancang karena berani menagih pembayaran mie yang sudah disantapnya. Ia menyaksikan sendiri betapa takutnya penjual mie ayam itu.

Kosasih remaja yang menghabiskan hari-harinya sebagai Marbot, mengurus masjid dan menjadi guru mengaji—tersentak melihat aksi oknum tentara yang bertolak belakang dengan prinsip akhlak yang ia dapatkan dari orang tua dan para guru sejak kecil.

“Saat itu juga ia berdoa: Ya Allah, saya ingin jadi tentara, dan jika suatu hari nanti saya jadi tentara, jadikanlah saya prajurit yang beradab,” kenangnya.

Lahir di Pandeglang, Kosasih kecil diarahkan orang tuanya terutama sang ayah, guru mengajiuntuk melanjutkan studi ke IAIN. Namun, takdir berkata lain. Memori yang membekas tentang peristiwa di warung mie ayam yang terus mengusiknya, mendorongnya untuk meraih mimpi sebagai tentara.

Takdir juga yang membawanya ke Jakarta, dan menemukan panggilan jiwa untuk mengenakan seragam hijau. Tanpa sepengetahuan keluarga atau kedua orang tuanya, ia mendaftar Akademi Militer, dan baru memberitahukan hal tersebut kepada sang Ibu setelah lulus seleksi awal.

Ibunda tercinta hanya berpesan: “Jaga nama baik dan jangan lupa berbuat baik,” ujarnya. Pesan sederhana itu telah menjadi kompas hidupnya hingga kini.

Perjalanan Kosasih, Alumni Akademi Militer Angkatan 1993, selama di Magelang tak lepas dari momen-momen penuh kejutan dan prestasi. Saat tes seleksi, ia justru lolos setelah sempat ia kira gagal karena tidak dipanggil bersama 19 peserta lain. Kenangnya dengan penuh rasa dag dig-dug saat menanti pengumuman itu.

Tugasnya sebagai Marbot dan guru ngaji di masa remaja turut mewarnai perjalanannya selama menjadi Taruna Akabri di Magelang. Kosasih, tak hanya unggul dalam latihan militer, tetapi juga menorehkan prestasi sebagai Qori’ terbaik dalam Musabaqah Tilawatil Qu’ran (MTQ) se-Jawa Tengah.

“Saya ingin buktikan bahwa tentara juga lekat dengan nilai-nilai agama, tentara bukan hanya bisa perang” tegas mantan Karopeg di Setjen Kemenhan dan Staf Ahli Bidang Keamanan Menhan di bawah kepemimpinan Jenderal TNI Prabowo Subianto.

Menurut Jenderal Bintang Dua Kopassus ini, prinsip kepemimpinannya terbentuk dari pengalamannya saat digembleng oleh para senior; dari berbagai penugasannya di Operasi Seroja, Aceh, Papua, dan korem Tarumanegara; serta memori kolektif di masa-masa menjadi guru ngaji dan Marbot, sehingga ketika ia menjadi komandan, ia mampu menjadi pemimpin yang humanis.

Pemimpin harus bisa menjadi teladan, memiliki integritas moral dan spiritual yang kuat. Anak buah tak akan respek jika kita hanya mengandalkan kekerasan. Seragam bukan hanya sekadar simbol kekuatan, tetapi cerminan hati yang bersinar” Tegasnya.

Sikap ini diwujudkan ketika ia menemukan enam tahanan bataliyon yang dikurung di ruangan sempit bak kandang kambing. Kosasih merombak sistem itu, ia memberikan mereka hak untuk bernapas dan memperbaiki diri.

Di mata Tuhan, pangkat tak ada artinya. Yang lebih penting adalah iman dan takwa,” ucap Kosasih yang saat ini di daulat menjadi Ketua DPA IKAL Lemhannas PPRA LXII.

Dakwah dalam Dinas dan Warisan untuk Generasi Penerus

Bagi Kosasih, berdakwah tak harus dari mimbar. Sebagai perwira, ia rutin memberikan ceramahagama di kesatuan, menekankan bahwa nilai Islam bisa dijalankan di mana saja bahkan di medan perang.

Dakwah bukan monopoli ustadz. Setiap profesi bisa jadi media untuk menyebarkan kebaikan,” tutur Jenderal yang katam dan hafal Kitab Suci Al Qur’an. Maka tak heran jika berdialog dengan beliau sesekali diselipkan ayat-ayat Al Qur’an sebagai landasan moral atas statemen dan substansi yang disampaikan.

Kepeduliannya terhadap sesama ia tunjukkan bukan hanya kepada prajurit, teman, tetapi juga kepada siapapun. Karena dimatanya manusia adalah sama. Sama-sama makluk Allah Swt. Kepeduliannya melampaui tugas resmi.

Tentara humanis-agamis ini, juga pernah membimbing seorang anak yatim di Aceh, memberinya tempat tinggal dan latihan fisik hingga sang anak lolos menjadi tentara. Kisah ini menjadi cermin dedikasinya pada pendidikan karakter: “Membentuk prajurit yang tangguh tak cukup dengan fisik. Mereka perlu hati yang tulus,” ujarnya.

Mengakhiri perbincangan dengan New Telstra, Mayjen TNI Kosasih yang juga dikenal sebagai Tokoh Banten dan pernah menerima Bintang Kartika Eka Paksi dan Satyalencana Wira Karya ini menegaskan bahwa: kepemimpinan harus berbasis keteladanan dan integritas agama, teruslah menginspirasi generasi muda,

Jabatan adalah amanah. Jangan pernah meminta, apalagi sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkan jabatan,” katanya.

Bagi Kosasih, seragam bukan sekadar simbol kekuatan, tetapi juga cerminan dari akhlak yang bersinar.

53 thoughts on “Mayor Jenderal TNI Kosasih, Dari Marbot ke Medan Juang”

Leave a Comment