Oleh: Chandra Purna Irawan (Ketua LBH PELITA UMAT & Mahasiswa Doktoral)
Sebelumnya saya telah menulis artikel berjudul Dirty Vote, Dirty Goverment. Sedangkan dalam tulisan ini saya akan mengutarakan terkait adanya dugaan electoral fraud dan electoral manipulation.
Kecurangan Pemilu merupakan salah satu bagian penting dalam menguji integritas Pemilu dan pelaksanaan Pemilu yang jujur dan berkeadilan.
Praktek kecurangan Pemilu adalah asal mula dari perkara pemilu (electoral dispute) yang menjadi bagian dari lingkaran tahapan pemilu (election circle phase). Kecurangan pemilu atau sering disebut dengan electoral fraud merupakan negasi dari gagasan mengenai integritas pemilu (electoral integrity).
Berkaitan dengan hal tersebut apabila tim 01 dan 03 akan mengajukan permohonan sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi, saya menduga kuat bakal ditolak. Kenapa?
Pertama, terkait hitung-hitungan perolehan suara, tentu hakim konstitusi membutuhkan waktu yang lama untuk memeriksa seluruh bukti dalam sengketa ini.
Saya pesimis, hakim dapat memeriksa seluruh bukti-bukti yang dilampirkan Pemohon (dan pihak termohon/pihak terkait) diteliti satu per satu.
Mengingat Pasal 475 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 74 Ayat (3) Huruf a UU No 7/2020 tentang MK mengatur bahwa waktu penyelesaian sengketa hasil pilpres paling lama 14 hari. Hari yang dimaksud adalah hari kerja.
Bukti-bukti yang dimaksud salah satu diantaranya adalah formulir C-1 dan C-1 plano (rekapitulasi hasil perolehan suara di masing-masing TPS). Dokumen ini yang akan dihitung ulang sambil mengecek keaslian kedua dokumen.
Apalagi model form C-1 merupakan hasil foto atau scan C-1 yang tidak diuraikan dengan jelas mengenai sumbernya dan bukan berupa salinan C-1 yang resmi yang diserahkan kepada saksi Pemohon di TPS.
Sebagai contoh apabila terdapat selisih perolehan suara sekitar 20 juta suara dengan asumsi TPS 500 pemilih per TPS, maka harus bisa dibuktikan di 40 ribu TPS ada pelanggaran sedemikian rupa yang mempengaruhi perolehan suara Pemohon dan seharusnya Pemohon menang.
Pertanyaannya bagaimana membuktikannya, atau memeriksa 40 ribu TPS tersebut?
Tidak bisa diambil sampelnya saja karena pemeriksaan bukti di Pengadilan mesti bersipat pasti. Tidak perlu memeriksa 40 ribu TPS, misalnya ambil saja 10 ribu TPS bahwa hal itu sudah terjadi bagaimana proses pembuktiannya.
Ini problem yang dialami ketika selisih suara sangat tinggi, bagaimana proses pembuktiannya sedangkan waktu sangat terbatas.
Kedua, terkait permohonan kecurangan pilpres (electoral fraud) yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM). proses pembuktian ini tidaklah mudah, jika ingin membuktikan proses pemilunya terdapat dugaan kecurangan, maka tidak dapat menggunakan formulir C-1 dan C-1 plano (rekapitulasi hasil perolehan suara di masing-masing TPS) sebagai bukti, tidak ada hubungannya dengan C-1.
Pemohon harus bisa membuktikan ada struktur kekuasaan yang memang melakukan pelanggaran/kecurangan yang sedemikian rupa, penyalahgunaaan APBN dan program pemerintah; penyalahgunaan birokrasi dan BUMN; ketidaknetralan aparatur negara seperti polisi dan BIN, Sehingga mempengaruhi perolehan suara paslon tertentu.
Kemudian Parameter/ukuran masif masih belum pasti. Sejauh mana sesuatu bisa dikatakan masif. Apakah masif harus memenuhi kriteria seluruh Indonesia atau satu provinsi bisa dikatakan cukup masif atau satu provinsi plus satu kecamatan dan sebagainya.
Misalnya akan menghadirkan 1 orang saksi Kapolda, keterangan 1 orang tersebut tidak dapat dengan mudah membuktikan adanya dugaan kecurangan secara masif.
Bagaimana membuktikan bahwa ada perintah secara langsung, kalau sekedar arahan Presiden atau pejabat negara yang sifatnya normatif sangat sulit untuk dijadikan dalil misalnya berupa permintaan atau tepatnya imbauan presiden kepada aparatur negara untuk mensosialisasikan program-program pemerintah.
Oleh karena itu, setelah membaca dari paparan diatas, jalan terjal akan dihadapi oleh tim 01 dan 03. Apakah akan tetap melaluinya atau putar arah melalui jalan hak angket?
Sebagai penutup saya mengetengahkan pendapat sosiolog Robert Michels dalam bukunya On the Sociology of the Party System in Modern Democracy. Menurut Michels, demokrasi gagal menghentikan kecenderungan oligarkis untuk muncul ke permukaan.
Apalagi dalam sistem demokrasi prosedural di mana faktor kelembagaan menempati kedudukan yang sentral. Mungkin kita perlu memikirkan ulang, apakah demokrasi masih relevan untuk digunakan? Demikian. Terimakasih.
Instagram: @chandrapurnairawan
Wondetful website. Plentty of useful information here.
I am sending it to several budxies aans additionally shaaring in delicious.
Annd obviously, thannk you on your effort!
Saveed as a favorite, I love youur webb site!