
Oleh: Ali Yusuf Kuasa Hukum Pelapor
Sebanyak 11 Penyelenggara Pemilu Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah resmi menjadi terlapor pelanggaran kode etik oleh Simon Hoborsi dan Kris Murib ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI).
Jika terlapor yang terdiri dari ketua KPU dan Ketua Bawaslu berserta anggotanya itu terbukti melanggar, maka jelas terlapor telah mengkhianati amanahnya sebagai penjaga demokrasi, karena menjadi tim sukses (Timses) salah satu peserta pemilu.
Padahal integritas dan profesionalisme para penyelenggara pemilu sangat diharapkan masyarakat, karena hal itu dapat menciptakan proses demokrasi sesuai amanah konstitusi dan mencegah peperangan antar warga di Kabupaten Puncak. Namun, sayang, penyelenggara pemilu di Kabupaten Puncak Papua Tengah itu malah berpihak kepada peserta yang mendanainya.
“Jika dugaan terbukti mereka perlu diberhentikan secara tidak hormat dan dituntut sesuai undang-undang yang berlaku.”
Seyogianya, Ketua KPU dan Ketua Bawaslu Kabupaten Puncak, Papua Tengah ini sebagai penerima amanah dari negara sebagai penyelenggara alias wasit dalam proses demokrasi dengan sistem noken menjalankan amanahnya dengan baik, malah demi kepentingan pribadi dan kelompoknya mereka rela menghianati negaranya dengan cara mengalihkan suara dari caleg yang satu ke caleg lain sesuai keinginan donaturnya.
Jika mereka terbukti memindahkan suara caleg satu kepada Caleg lainnya, maka (DKPP) selain memberhentikan 11 terlapor juga harus merekomendasikan tidak mengakui perolehan suara caleg yang suaranya ditambahkan oleh terlapor. Dan sudah sapatutnya DKPP hanya mengakui suara awal yang sudah diikat oleh kepala suku berdasarkan kesepakatan warga (noken).
Seperti diketahui sistem noken/sistem kesepakatan itu sudah direstui Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya Nomor 47-48/PHPU.A-VI/2009.
Melalui putusan inilah MK telah menghormati adat dan budaya yang berlaku di masyrakat Papua di mana cara memilih presiden wakil presiden dan perwakilannya di parlemen (pileg) baik di tingkat Kabupaten, Provinsi dan Pusat diwakilkan oleh kepala sukunya yang dikenal dengan sistem noken alias sistem ikat atau kesepakatan warga yang praktiknya lebih efektif dan efisien serta dapat memelihara kekompakan warga.
Dan tentunya sistem noken ini juga merupakan cerminan dari sistem keterwakilan pemerintahan di pusat. Di mana semua kepentingan masyarakat dibawa atau disuarakan oleh wakilnya untuk dibahas dan disetujui oleh anggota parlemen di Kota/Kabupaten/Provinsi maupun di Pusat.
Jika dilihat dari prosesnya, sistem noken ini sangat unik sesuai dengan karakteristik masyarakat Papua yang begitu kental dengan adat dan budayanya.
Untuk itu sistem noken ini perlu dijaga prosesnya oleh setiap Penyelenggara Pemilu bukan malah dirusak dengan memindahkan suara dari Caleg satu kepada Caleg lainnya.
DKPP menjadi pilar pertama penjaga etika para penyelenggara pemilu. Untuk itu putusannya harus dapat memberikan efek jera agar para penyelenggara lain tidak melakukan hal yang sama.
Berdasarkan data dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ada 21 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Papua Tengah yang didaftarkan ke MK. Hal ini menunjukkan, KPU dan Bawaslu Papua Tengah dinilai amatiran dan membuat rekor terburuk sebagai penyelenggara pemilu.
Menurut Perludem, dari 277 sengketa yang masuk, hampir 10 persen terjadi di Papua Tengah. Data ini menunjukan sebagai penyelenggara pemilu KPU maupun Bawaslu Papua Tengah kurang persiapan yang menunjuk ketidak profesionalnya dalam bekerja.
Sampai saat ini hanya ada dua daerah di Papua Tengah yang melaksanakan Pemilu secara langsung. Dan selebihnya tepatnya enam daerah masih menggunakan sistem noken di antaranya Kabupaten Puncak Jaya, Puncak, Paniai, Intan Jaya, Deiyai, dan Dogiyai.
Dan yang paling membuat sesak, pada saat pelaksanaan Pemilu 2024, telah terjadi kekerasan horizontal yang mengakibatkan jatuhnya puluhan korban jiwa. Sesama warga Papua Tengah saling serang menggunakan panah dan senjata tajam demi perebutan suara kelompok masyarakat tertentu.
Menurut Peneliti Perludem, Ihsan Maulana, munculnya berbagai masalah dalam pelaksanaan Pemilu di Papua Tengah ini ini bisa diakibatkan kurang profesionnya para penyelenggara pemilu.
Untuk itu dia menyarankan, seharusnya KPU RI melakukan supervisi secara langsung untuk provinsi-provinsi tertentu tidak dibiarkan wilayah tertentu itu bermain sendiri.
“Apalagi faktanya bukan hanya banyak sengketa, tapi juga terjadi pertikaian hingga mengakibatkan jatuh korban,” kata peneliti Perludem, Ihsan Maulana, Selasa (26/3/2024).
Hal lainnya, menurut Ihsan, tingginya angka sengketa Pemilu di Papua Tengah menjadi sinyal perlunya dilakukan perubahan dari sistem yang lama (noken) ke pelibatan partisipasi publik secara aktif.
Warga di sana harus diedukasi guna memberikan suaranya secara langsung sebagai bagian dari haknya sebagai warga negara. “Tidak lagi diwakilkan kepada kepala suku atau yang lainnya,” ujarnya.
Menurutnya, bagaimana mungkin hal tersebut bila personil KPU dan Bawaslu di sana masih tergolong amatiran? Kondisi demikian, lanjutnya, bila tidak dibenahi, akan terus berulang masalahnya.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyarankan, dem kepentingan jangka panjang, ketentuan sistem noken perlu dibenahi kembali. Sehingga setiap keunikan dalam metode pemilihan noken dapat diakomodir secara legal dan dengan standar yang baik. “Hak-hak politik setiap warga negara harus dapat dijamin dan dilindungi dalam ketentuan noken,” katanya.
Titi juga mendukung pembenahan sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana Pemilu. Untuk itu rekrutmen penyelenggara pemilu perlu dilakukan secara profesional, melalui seleksi yang ketat, bukan karena kedekatan atau nepostime.
“Jika belum memungkinkan penduduk lokal, maka baik KPU provinsi induk maupun KPU RI harus memberikan supervisi secara langsung,” kata Titi menyarankan.
Kata Titi, belajar dari kejadian-kejadian terdahulu, seharusnya dilakukan upaya preventif dari perspektif penyelenggara pemilu dan perspektif kepolisian.
Secara umum, dari 5 provinsi di Pulau Cendrawasih, 3 di antaranya masuk dalam 10 besar provinsi di Indonesia yang paling banyak melaporkan sengketa Pemilu 2024 ke MK.
Selain Papua Tengah, ada juga Papua dengan 15 sengketa dan Papua Pegunungan (11 kasus). Mereka bergabung bersama Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku Utara, dan Maluku.