Ketika Ulama Menjadi Komoditas Politik Setiap Pilpres 

Ali Yusuf SH

*Ali Yusuf

Setelah pemilihan presiden dan wakil presiden selalu tersisa narasi tidak happy dari salah satu pasangan. Diksi pemilu penuh kecurangan menjadi ekpresi bahwa di akhir pemilu dia tidak bahagia.

Mereka yang berteriak curang tidak sadar bahwa diksi “curang” yang disampaikan ke publik itu didengar anak-anak dan tanpa disadari bisa meracuni mereka di masa yang akan datang. Karena kata “curang” mereka dengar berulang-ulang, akhirnya menjadi stereotip bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu harus “curang”.

Relakah kita punya generasi tak beretika, culas dan curang…? Harapan Indonesia tahun 2045 memiliki generasi emas sudah pasti tidak akan terealisasikan, karena pikirannya sudah terkontaminasi dengan kata-kata “curang”.

Jika sudah seperti ini siapa yang salah…? “Entahlah siapa yang salah ku tak tahu”

Karena ada noda di pikirannya, generasi muda itu akan membantah ketika dilarang jangan culas dan curang. Tanpa ragu mereka akan berkata. “Negara ini juga dipimpin orang culas, curang kenapa saya tidak boleh culas dan curang”.

Inilah efek ilusi kebenaran karena sesuatu kesalahan jika diulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran. Jika sudah seperti ini siapa yang salah? “Entahlah siapa yang salah…ku tak tahu”

Seharusnya tidak perlu perang opini, semua sudah tahu Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi tempat menguji curiga pemilu curang.

Peran Ulama

Kehadiran ulama di masing-masing pasang ternyata tak mampu membuat mereka meningkat ketakwaannya dalam meraih kekuasaan. Kehadiran ulama tak membuat mereka juga pasrah menerima takdir Tuhan yang tidak memilihnya sebagai pemimpin.

Jika kondisinya seperti itu, peran ulama gagal sosialisasikan firman Tuhan bahwa kekuasaan, kerajaan milik-Nya, Dia memberikan dan mencabut kerajaan dari siapa yang dia kehendaki-Nya. (QS. Ali Imran ayat 26)

Kehadiran ulama di tengah-tengah kontestan pemilu seakan menjadi komuditas politik yang tak lebih seperti barang dagangan. Artinya jika mampu beli dengan harga tinggi maka barang itu bisa dibawa sebagai jimat mendongkrak suara dan kata-katanya menjadi mantra bisa menang tanpa putaran kedua.

Pada akhirnya, pesta demokrasi yang digelar setiap lima tahunan ini menjadi kesempatan ulama mendapat salam tempel dari setiap kontestan pemilu.

Saya mendengar salah satu dai kondang yang selalu tampil necis siap memberikan dukungan asal stang bundar jenis Land Cruiser menjadi upahnya. Jika benar informasi ini rusaklah wibawa ulama sebagai pewaris Nabi.

Teokrasi

Jika memang ingin memperbaiki negeri kenapa tidak ikut saja para ulama itu menjadi kontestan pemilu agar jelas ketika presidennya dari kalangan Teokrasi (ulama), umat bisa mudah diajak taat menjalankan syariat.

Ya minimal umat percaya kepada yang ghaib, menjaga shalat lima waktu berjamaah di masjid dan menginfakkan sebagian hartanya.

Jika melihat populasinya sebagai negara dengan mayoritas orang Islam, Indonesia sudah ideal memiliki bentuk pemerintah teokrasi daripada demokrasi.

Kepemimpinan pasca Rasulullah SAW wafat menjadi contoh ideal bentuk teokrasi karena kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib berhasil mengajak umat taat menjalankan syariat.

Sudah saatnya ulama yang paham agama mencalonkan diri sebagai kepala negara, jangan hanya jadi calon wakilnya, tetapi jadilah calon presidennya. Ulama tak perlu lagi memberikan dukungan, tetap terjun langsung menjadi kontestan Pemilu.

Mendukung kepada salah satu pasangan hanya bisa memecah belah suara umat setiap lima tahun sekali.

Terus terang saya merasa terhina sekali ulama yang saya kagumi ketika didatangi peserta Pemilu dikepelan amplop (salam tempel).

Yang paling membuat saya sedih ada ulama yang sudah mendapat gelar syekh memberikan dukungan kepada salah satu peserta Pemilu yang berani mengaku bisa melakukan pekerjaan Tuhan Allah SWT mendatangkan 1 juta malaikat untuk ikut kampanye. “Tentu pernyataan ini parah.”

Agama dan Politik

Dr Ali Muhammad Ash Shallabi dalam bukunya “Ad-Daulah Al-Haditsh Al-Muslimah; Da’a ilmuha wa Wazha’ Iifuha” berpendapat:

“Jika suatu negara dipimpin oleh ulama akan bisa memotivasi masyarakat yang kritis (politisi) kepada kebaikan, meneguhkan dalam kebenaran, memicu mereka untuk membela keutamaan, menolong orang susah, menguatkan orang lemah, membantu orang papa, dan berdiri tegak di hadapan orang zalim hingga ia meninggalkan kezalimannya.”

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih. “Tolonglah saudaramu baik ia orang zalim ataupun dizalimi”. Lalu para sahabat bertanya, “Kami menolongnya jika dia dizalimi, tapi bagaimana kami menolongnya jika dia berbuat zalim?” Nabi SAW menjawab, “Mencegah dari perbuatan zalim, itulah cara menolongnya.”

Inilah pentingnya kata Dr Ali Muhammad Ash Shallabi, agama (ulama) tidak boleh dipisahkan dari politik. Karena Agama dapat menganugerahkan kepada politikus nurani yang hidup atau jiwa pencela yang mencegahnya untuk makan harta haram atau menghalalkan yang haram dari masjid atau makanan harta publik dengan batil atau mengambil suap atas nama hadiah atau komisi.

Seorang politikus yang berpegang teguh pada agama, maka ia telah memegang erat tali yang kokoh dan agama menjaganya dari akhlak buruk dan sifat nifaq yang hina.

Jika berbicara, ia tidak berdusta, jika berjanji ia tidak akan ingkar, jika diberi amanat ia tidak akan khianat, jika bersumpah, ia tidak akan melanggar, jika bermusuhan ia tidak akan berbuat dosa.

“Orang seperti itu terikat contoh yang ideal dan akhlak mulia,” kata Dr Ali Muhammad Ash Shallabi.

Sesungguhnya melepaskan politik dari agama berarti melepaskan politik dari mendorong kebaikan dan penghalang keburukan, melepaskannya dari faktor-faktor kebajikan dan ketakwaan, dan membiarkannya untuk motif-motif dosa dan permusuhan.

Keterikatan politik dengan agama dapat memberi kekuatan kepada negara untuk memobilisasi energi iman atau energi spiritual dalam melayani masyarakat dan mengarahkan politik internal masyarakat ke jalan benar bukan jalan yang sesat, jalan yang lurus bukan jalan menyimpang dan kepada kesucian bukan kepada penodaan yang haram.

Lalu sampai kapan ulama akan menjadi penonton? Saya berharap ulama menjadi peserta politik di masa yang akan datang agar tercapai negara yang “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghofur“.

4 thoughts on “Ketika Ulama Menjadi Komoditas Politik Setiap Pilpres ”

  1. Assalamualaikum ini buah pikirannya daging semua semoga bermanfaat buat banyak orang tapi kalau ini dilihat dari sudut petunjuk dari pencipta manusia dan alam semesta cuma sayang sekarang ini kita berada di era kehidupan uang jabatan harta dan wanita menjadi Tuhan manusia sehingga kondisinya takut mati cinta dunia untuk itu solusinya kita harus mampu menciptakan dan mewujudkan manusia seutuhnya yang dibina dan diukur oleh petunjuknya dan contohnya demikian pendapat saya

    Reply

Leave a Comment