Penerimaan Negara Diutamakan Daripada Penjarakan Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak

Penerimaan Negara Diutamakan Daripada Penjarakan Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak
Penerimaan Negara Diutamakan Daripada Penjarakan Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak.

Salam Sahabat Alylaw.

Tidak ada satu pun orang di dunia ini yang ingin dihukum. Baik dihukum secara administrasi atau kurungan badan (penjara) atas perbuatan yang dilakukannya.

Perbuatan yang sengaja dilakukan (dolus) atau tidak sengaja alias kelalaian (culpa) dan menurut ajaran hukum tentang unsur pidana, bahwa sengaja atau tidak sengaja tetap dianggap telah melakukan tindak pidana, maka pelakunya bisa dijatuhi sanksi pidana.

Contohnya, seorang wajib pajak (WP) atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidak memiliki niat untuk tidak membayar (ngemplang) pajak.

Namun naas, atas kondisi tertentu dia (WP/PKP) harus kena getahnya karena kelalaian (culpa) memberikan uang untuk bayar pajak kepada pegawainya yang ternyata tidak disetorkan ke loket penerimaan pembayaran pajak. Sehingga WP/PKP harus menerima punishment dari Fiskus alias pegawai pemerintah yang menagih pembayaran pajak.

Fidel, SE. SH. MM MH, M,Si BKP dalam bukunya “Kupas Tuntas Kasus Tindak Pidana Perpajakan” menyampaikan ada ada empat jenis tindak pidana perpajakan sebagaimana diatur Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

  1. Karena Alpa Pasal 38 dan Pasal 41 Ayat 1 HU KUP
  2. Karena Sangaja Pasal 39 Ayat 1 Pasal 41A, Pasal 41B, Pasal 41 (2) dan Pasal 43 UU KUP.
  3. Karena Coba-coba Pasal 39 Ayat 3 UU KUP
  4. Karena mengulanginya Pasal 39 Ayat (2) UU KUP.

Lalu bagaimana agar bisa lepas dari panuishment dari Fiskus?

Ada beberapa yang perlu dilakukan WP/PKP setelah menerima surat dari Fiskus bahwa terhadap dokumen WP/PKP yang diperiksa oleh Fiskus terdapat bukti permulaan cukup adanya dugaan telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan.

Pertama, jika WP/PKP seorang Muslim, yakin dengan Firman Allah SWT dalam Alquran surah Al- Baqarah ayat 286: “Bahwa Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya.”

Artinya, seberat apapun sanksi yang diterima oleh WP/PKP berupa denda membayar pajak yang dilipatgandakan atau hukum penjara, yakin bahwa itu tidak akan terjadi ketika WP/PKP sudah berusaha untuk lepas dari jerat hukuman itu.

Kita saja, denda dan pidana penjara itu sebagai penyakit yang perlu segera dicari obatnya. Maka, jika persoalan itu kita anggap sebagai penyakit, maka ingat apa yang disampaikan Nabi Muhammad SAW.

“Setiap penyakit itu ada obatnya dan obatnya dosa adalah istighfar (meminta ampunan). (HR Ad-Dailami)”

Kedua, maka obat untuk menyembuhkan penyakit yang sedang dialami oleh WP/PKP adalah dengan menemui (silaturahmi) untuk konsultasi dengan orang yang mengetahui tentang pajak untuk meminta resep apa obat agar bebas dari penyakit denda dan dan pidana penjara karena telah diduga (alpa, sengaja, percobaan, berulang) melakukan tindak pidana perpajakan.

Orang yang mengetahui tentang pajak itu bisa orang dalam alias Fiskus pegawai pajak yang bekerja di kantor-kantor pajak atau orang di luar kantor pajak yang berprofesi advokat, pengacara atau konsultan pajak.

Pada intinya dalam persoalan perpajakan, penerimaan negara harus diutamakan oleh Fiskus, bukan malah memenjarakan WP/PKP. Apalagi tujuan hukum (penagihan pajak) adalah untuk memberikan asas manfaat baik kepada WP/PKP atau kepada negara sebagai penerima pajak.

Fidel dalam bukunya “TAX LAW Proses Beracara di Pengendalian Pajak dan Peradilan Umum” menilai sanksi pajak dalam menerapkan Undang-undang pajak seakan tidak efektif memaksimalkan penerimaan negara.

Hal itu terbukti ketika pilihan sanksi diterapkan pada kasus Asian Agri, putusan hakim pengadilan negeri Jakarta Pusat dalam persidangan kasus Asian Agri pada pertengahan Maret 2012 akhirnya menerima Eksepsi keberatan Suwir Laut, mantan manajer Asian Agri yang diduga menyampaikan surat pemberitahuan pajak tidak lengkap.

Awalnya Jaksa menuntut dengan pidana penjara selama 3 tahun, namun majelis hakim menganggap dakwaan Jaksa prematur. Putusan hakim seakan memberikan pelajaran kepada semua pihak dalam menilai persoalan sanksi dalam hukum pajak.

Pilihan sanksi pajak pada dasarnya ditunjukkan bukan untuk memidanakan wajib pajak, akan tetapi bagaimana Fiskus dapat memaksimalkan penerimaan negara. Namun faktanya di lapangan tidak demikian, masih banyak wajib pajak yang dipenjarakan karena tidak taat membayar pajak.

Seperti kasus terbaru yang dialami wajib pajak atas nama Wardan vonis penjara enam bulan dan denda sebesar dua kali kerugian negara atau Rp.8.616.945.586 karena terbukti tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut jo menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap terkait perusahaan miliknya.

Baca link di bawah ini.

Pengadilan Negeri Kendari Vonis Pengemplang Pajak

Memang benar undang-undang pajak membedakan dua macam sanksi yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi dibedakan dalam tiga macam, yaitu berupa denda, bunga, dan sanksi kenaikan. Adapun sanksi pidana berupa kurungan dan penjara.

Penerapan sanksi pidana yang diatur dalam ketentuan pasal 39 UU KUP kurang efektif alias banci dan tidak jelas. Terlebih Pasal 39 dikaitkan dengan ketentuan Pasal 44 B yang juga memberikan pilihan sanksi kepada pemerintah.

Pasal 44B UU KUP menegaskan bahwa Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan pajak bila ada permintaan dari Menteri Keuangan yang didasarkan pada kepentingan penerimaan negara.

Jika dianalisis, pasal 44B UU KUP ini ingin menegaskan bahwa penerimaan negara lebih penting ketimbang memidanakan wajib pajak, pasalnya tujuan pajak sejak awal tidak dimaksudkan memidanakan tetapi mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara.

Cara berpikir pajak jelas berbeda dengan pidana murni seperti pencurian pembunuhan, atau pemerkosaan yang tidak diganti dengan uang. Berbeda dengan pajak, pidana pajak menjadi ultimum remedium hukum penjara merupakan upaya terakhir setelah proses administrasi dijalankan.

Pertanyaannya Mengapa Menteri Keuangan bisa melakukan intervensi penegakan hukum di bidang perpajakan yang sudah berjalan, harus dipahami bahwa kewenangan Menteri Keuangan yang diberikan Undang-undang Pajak tidak dimasukkan untuk kepentingan pemerintah semata, tetapi untuk kemanfaatan bagi negara secara keseluruhan.

Masih dikatakan Fidel, bahwa kepastian hukum menyelesaikan penyidikan pajak sampai ke pengadilan bukan satu-satunya cara menerapkan tujuan hukum yang digambarkan penegak hukum. Tujuan hukum pajak lebih mengutamakan keadilan sekaligus kemanfaatan.

Artinya, jika WP/PKP mendapat ancaman pidana di bidang perpajakan dan kasusnya sudah naik ke penentuan, WP/PKP melalui kuasanya bisa menyurati Menteri Keuangan. Menyurati Menteri Keuangan ini bisa menjadi solusi ketiga menyelesaikan persoalan pidana di bidang perpajakan yang sedang dialami WP/PKP.

Demikian Sahabat Alylaw semoga membantu.

*Penulis: Alylaw135.8 (Ali Yusuf)

 

2 thoughts on “Penerimaan Negara Diutamakan Daripada Penjarakan Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak”

  1. Do you miund iff I quote a couple of yourr articles as long as I privide credikt and soures back
    to your webpage? My blog site is in the exact ame niche aas yours andd my visitors would defintely benefit from a lot off thhe information youu provide here.
    Plezse lett mee know iif this okay wigh you. Thanks!

    Reply
  2. This desaign iss spectacular! You ohviously know how
    tto keep a readrer entertained. Between yyour wwit and your videos,
    I was almozt moved tto stardt myy own blog (well, almost…HaHa!) Faantastic job.

    I really enjoyed whawt you had to say, andd more than that, how yyou presented it.

    Too cool!

    Reply

Leave a Comment