
Oleh: Ali Yusuf, SH – Founder Solidarity Indonesia for Refugees
Solidarity Indonesia For Refugee (SIR) telah memprediksi bahwa di satu saat akan ada konflik sosial antara penduduk setempat dengan para pengungsi jika UNHCR tidak serius menangani persoalan pengungsi yang ada di Indonesia. Dan benar prediksi itu terjadi, pengungsi Rohingya dipindah paksa oleh ratusan mahasiswa dari Balai Meuseraya Aceh (BMA), pada Kamis (28/12/2023).
Di penghujung tahun 2021 prediksi ini sudah saya sampaikan kepada beberapa tokoh ormas Islam di MUI bahwa akan ada gesekan antara masyarakat setempat jika masalah pengungsi tidak segera ditangani.
Alhamdulillah tokoh ormas Islam seperti Prof Sudarnoto Hakim sebagai Ketua Komisi Hubungan Internasional MUI, KH Anwar Abas Ketua PP Muhammaddiyah dan KH Jeje Zainuddin yang sekarang sebagai Ketua Umum Persis merespon baik.
Sebagai responnya mereka telah membuat suatu pernyataan yang mengkritisi kinerja UNHCR karena dinilai tidak serius menangani pengungsi Internasional yang menjadi tanggung jawabnya. Alhamdulillah SIR berhasil menyakinkan para tokoh ormas Islam atas ketidakseriusan UNHCR menangani masalah pengungsi.
Silaturahmi kepada para tokoh ormas Islam merupakan program kerja SIR selain mendorong Pemerintah Indonesia menyediakan tempat khusus untuk para pengungsi.
Komentar para tokoh itu akhirnya dimuat di beberapa media online dan belum lama ini Prof Sudarnoto masih aktif menyampaikan saran kepada Pemerintah RI agar bisa berkomunikasi dengan UNHCR menangani masalah pengungsi yang ditolak warga tempatan.
Saran Prof Sudarnoto dimuat di media online dengan judul “MUI Minta Mendagri Bicara ke UNHCR soal Rohingya di Aceh Ditolak Warga Lokal”, yang termuat dalam link berikut: https://dtk.id/NcyVmu
Saya akui menyesalkan atas pemindahan paksa warga internasional oleh mahasiswa. Meski demikian saya tidak menyalahkan sepenuhnya aksi mahasiswa itu.
Karena yang perlu disalahkan dalam persoalan pengungsi adalah UNHCR yang sudah sejak lama tidak memiliki program jelas bagaimana cara mengatasi persoalan pengungsi yang tinggal di Indonesia bertahun-tahun.
UNHCR sudah mengetahui bahwa para pengungsi akan tinggal di Indonesia tanpa ada batas waktu, seharusnya punya program kerja bagaimana pengungsi bisa diterima masyarakat lokal.
“Jika UNHCR memiliki program kerja mengenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat setempat saya yakin tidak akan ada pemindahan paksa oleh Mahasiswa seperti yang terjadi di Aceh.”
Pengusiran warga Internasional oleh mahasiswa tentu dapat mencoreng nama baik Indonesia di mata dunia. UNHCR harus tanggung jawab atas keadaan yang terjadi sekarang ini, jangan hanya menyampaikan penyesalan atas apa yang telah dilakukan sebagian dari anak-anak masyarakat Indonesia yang kini telah menjadi mahasiswa di Aceh.
Dua tahun ke belakang aski serupa juga telah terjadi terhadap pengungsi Afghanistan, di mana mereka sempat diusir warga setempat di daerah Sulawesi Selatan Makassar. Warga Lokal juga tidak terima kehadiran mereka dengan berbagai macam alasan.
Memang berdasarkan prinsip hukum internasional pengungsi atau pencari suaka tidak boleh diusir atau dikembalikan (refouler) ke negaranya jika itu membahayakan jiwanya.
Namun, demi menjaga keamanan, kedaulatan apa yang dilakukan mahasiswa bisa dimaklumi, seperti mengutip pendapat Prof Hikmahanto Juwana, karena pada dasarnya dalam hukum Internasional tidak ada yang lebih tinggi dari kedaulatan negara.
“Indonesia merupakan negara berdaulat yang perlu dijaga keamanannya di dalam dan luar dari kepentingan asing termasuk para pengungsi,” kata Hikmahanto.
Masalah pengungsi di Indonesia seakan menjadi agenda musiman setiap tahun, dua tahun ke belakang tepatnya pada Desember tahun 2021, saya sebagai pendiri SIR diwawancarai reporter dari sbs.com.au jaringan radio Australia membahas terkait masalah pengungsi dari Afganistan.
Karena frustasi, UNHCR tidak memberikan kejelasan kapan mereka diberangkatkan ke negara ketiga, akhirnya mereka gelar aksi turun ke jalan, jahit mulut bahkan bunuh diri dengan cara bakar diri.
Berikut kutipan lengkap hasil wawancara saya yang bisa diakses di link berikut ini:
Menanti Sikap Tegas RI
Untuk mengatasi persoalan masalah pengungsi yang kian lama kian rumit, maka Pemerintah Indonesia (RI) perlu mengambil sikap. “Menolak Kedatangan Pengungsi atau Menerima”.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri perlu dipertimbangkan untuk direvisi karena tidak mampu menangani masalah pengungsi terutama, di dalam perpers itu tidak disebutkan sampai berapa lama para pengungsi transit di Indonesia.
Jika menurut hukum internasional Indonesia sebagai satu negara dilarang menolak pengungsi, maka jika pertimbangannya demi kedaulatan negara maka boleh-boleh saja menolak mereka.
Namun, jika tetap menerima dengan berbagai macam alasan, maka terimalah mereka dengan baik supaya terpenuhi hak asasinya sebagai manusia.
Siapkan lokasi yang terkonsetrasi khusus untuk tempat tinggal para pengungsi yang jauh dari pemukiman warga lokal. Hal ini demi mengurangi resiko konflik sosial antara penduduk setempat dengan para pengungsi.
Jangan pikirkan nasib mereka, karena nasibnya sudah menjadi tanggung jawabnya UNHCR. UNHCR memiliki anggaran jutaan dollar hasil sumbangan dari setiap negara untuk membantu para pengungsi.
Sebagai negara transit bagi para pengungsi, Indonesia tinggal sediakan tempatnya saja, semua kebutuhan hidup sudah menjadi urusan UNHCR. Jangan terlalu jauh mengurusi nasib pengungsi karena Indonesia belum menjadi negara yang meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi.
Dua Petimbangan Pemerintah Memberi Kewarganegaraan Para Pengungsi
Ada dua pendekatan yang bisa digunakan Pemerintah Indonesia sebagai bahan kajian yang bisa menjadi baha pertimbangan untuk meratifikasi Konvensi 1951 tentang pengungsi yang konsekuensinya setelah meratifikasi Konvensi itu para pengungsi bisa menjadi warga negara Indonesia (WNI).
Pertama pendekatan teologis (religius historis) di mana para nabi juga mengungsi dan Kedua pendekatan konstitusi UUD 1945 melalui pembukannya.
“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Umat Islam tahu di antara para nabi yang kisah pengungsianya populer di antaranya Nabi Nuh AS dengan banjir bandangnya, Nabi Luth AS dari kejaran kaum homo, Nabi Musa AS dari kejaran Firaun dan Nabi Muhammad SAW juga mengungsi dari kejaran kafir Quraish demi mempertahankan agama, nyawa, keturunan dan harta (maqosid syariah).
Ada beberapa kisah di dalam Alquran tentang perintah mengungsi ketika tempat tinggalnya sudah tidak aman untuk mempertahankan agama, nyawa, keturunan dan harta maka disarankan untuk mengungsi alias hijrah. Misalnya dalam surat An-Nisa ayat 97 yang artinya:
“……Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Dan orang pengungsi juga perlu diberikan bantuan. Hal ini sesuai dengan Alquran surah At-Taubah ayat 60 yang artinya:
“Sesungguhnya zakat (bantuan) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah.”
Maka, jika membaca ayat di atas para pengungsi ini masuk yang ke delapan asnaf yaitu orang yang sedang dalam perjalanan. Sekarang tinggal keinginan Indonesia apakah menolak atau menerima pengungsi. []