UU Perampasan Aset Tindak Pidana dan Pembatasan Uang Kartal Waaroom Nog Steeds Niet?

Advokat Senior M.Jaya SH,.M.H,. M.M
M. Jaya, S.H., M.H., M.M (Advokat Senior)

Oleh: M. Jaya, S.H., M.H., M.M. & Alungsyah
Jakarta, 27 Mei 2025

Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Meski berbagai upaya telah digagas, mulai dari ancaman hukuman mati, perampasan aset, hingga wacana pembatasan uang kartal, faktanya praktik KKN masih subur dan sistemik.

Mengapa demikian? Jawabannya terletak pada akar persoalan struktural yang menghambat implementasi regulasi dan melemahkan penegakan hukum.

Hambatan Struktural Pemberantasan KKN

Pemberantasan KKN bukan sekadar soal menindak pelaku, tetapi menyentuh banyak sisi: politik, hukum, birokrasi, ekonomi, dan budaya sosial.

1. Politik: Kepentingan vs Komitmen

Minimnya political will dari Presiden maupun DPR menjadi salah satu faktor utama lambannya reformasi antikorupsi. Dinasti politik dan oligarki masih merajalela, di mana pejabat publik menjalin hubungan saling menguntungkan dengan elite ekonomi. Bahkan, intervensi dari negara asing dengan kepentingan investasi turut mempengaruhi arah kebijakan antikorupsi.

2. Hukum: Lemahnya Efek Jera

Meski banyak pelaku KKN telah diproses hukum, hukuman yang dijatuhkan kerap ringan dan diiringi dengan remisi. Lebih parah lagi, aparat penegak hukum sendiri tak luput dari praktik judicial corruption. Proses hukum yang panjang dan birokratis makin memperburuk kepercayaan publik terhadap keadilan.

3. Birokrasi: Nepotisme dan Resistensi

Penempatan jabatan strategis di lingkungan birokrasi masih didominasi oleh faktor kedekatan pribadi, bukan berdasarkan kompetensi. Sistem pengadaan barang dan jasa yang tertutup pun menjadi ladang empuk bagi praktik KKN. Sementara itu, banyak birokrat justru menolak perubahan karena mereka diuntungkan oleh sistem korup saat ini.

4. Ekonomi: Hambatan Investasi dan Ketimpangan

KKN menghambat iklim investasi yang sehat dan menimbulkan pemborosan anggaran negara. Alih-alih menyejahterakan rakyat, korupsi justru memperkaya segelintir elite, memperlebar jurang ketimpangan, dan menciptakan ekonomi yang tidak inklusif.

5. Sosial: Budaya Permisif

Di tingkat akar rumput, KKN kerap dianggap “sudah biasa” dan bagian dari sistem yang tak bisa diubah. Rendahnya literasi hukum dan minimnya perlindungan bagi pelapor (whistleblower) membuat masyarakat enggan terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi.

Solusi Sistemik: Bukan Sekadar Penindakan

Menjawab tantangan tersebut, diperlukan pendekatan yang menyentuh semua lapisan sistem.

Reformasi Politik dan Hukum

Transparansi dan akuntabilitas dalam kebijakan publik harus menjadi standar. Penegakan hukum mesti diperkuat dengan hukuman yang tegas, termasuk perampasan aset dan pemiskinan pelaku KKN. Penghapusan dinasti politik melalui regulasi ketat juga menjadi keharusan.

Perbaikan Birokrasi dan Ekonomi

Digitalisasi layanan publik bisa mengurangi peluang suap. Proses rekrutmen jabatan perlu berlandaskan meritokrasi. Sementara itu, sistem pengadaan barang dan jasa harus diawasi oleh lembaga independen untuk menutup celah korupsi.

Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan

Pendidikan antikorupsi harus dimulai sejak dini. Masyarakat perlu diberi akses untuk mengawasi dan melaporkan praktik KKN tanpa rasa takut. Perlindungan hukum bagi pelapor menjadi kunci penting.

Pembatasan Uang Kartal dan RUU Perampasan Aset: Antara Harapan dan Kenyataan

Dua instrumen hukum yang dinilai strategis dalam pemberantasan KKN adalah RUU Pembatasan Uang Kartal dan RUU Perampasan Aset. Namun, hingga kini, kedua RUU tersebut masih tertahan di DPR.

Mengapa RUU Ini Sulit Disahkan?

Sistem multipartai menyebabkan fragmentasi kepentingan politik di parlemen. Banyak partai memiliki afiliasi dengan pengusaha atau elite ekonomi yang merasa terancam dengan pengesahan RUU tersebut. Tak sedikit juga anggota dewan yang khawatir terhadap dampak RUU terhadap pendanaan politik, terutama menjelang pemilu.

Peran Koalisi Indonesia Maju

Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat ini menguasai sekitar 81 persen kursi DPR. Dengan dominasi ini, sebenarnya ada peluang besar untuk mendorong pengesahan dua RUU strategis ini. Namun, perbedaan visi dan kepentingan di dalam koalisi membuat langkah ini tak semudah yang dibayangkan.

Apa Itu Pembatasan Uang Kartal?

RUU Pembatasan Uang Kartal bertujuan membatasi transaksi tunai maksimal Rp100 juta per hari. Transaksi di atas itu wajib menggunakan sistem non-tunai seperti transfer bank.

Tujuannya jelas: menutup celah suap, pencucian uang, dan transaksi gelap. Tapi tantangannya tidak ringan, terutama di daerah yang belum memiliki infrastruktur digital memadai.

RUU Perampasan Aset: Efek Jera Nyata

RUU ini memungkinkan negara merampas aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu vonis pidana terlebih dahulu. Hal ini penting untuk mempercepat pemulihan kerugian negara. Namun, kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi tantangan besar dalam pengesahannya.

Korupsi bukan sekadar masalah hukum, tetapi persoalan struktural yang memerlukan solusi lintas sektor. Tanpa komitmen nyata dari elite politik, penegak hukum, dan masyarakat, upaya pemberantasan KKN akan terus tertahan di ranah wacana.

Diperlukan langkah konkret untuk mempercepat pengesahan RUU strategis dan memastikan sistem berjalan secara adil dan transparan. Masa depan Indonesia yang bersih dari KKN bukanlah utopia, tapi pilihan politik dan moral yang harus diambil sekarang juga.

Referensi:

  1. Kumparan – Dampak RUU Perampasan Aset terhadap koruptor.

  2. CNBC Indonesia – Pernyataan Presiden Jokowi soal pentingnya dua RUU.

  3. Media Indonesia – Analisis urgensi pembatasan uang kartal.
    Penyusunan dibantu oleh ChatGPT, Google Search, dan berbagai sumber terpercaya lainnya.

10 thoughts on “UU Perampasan Aset Tindak Pidana dan Pembatasan Uang Kartal Waaroom Nog Steeds Niet?”

Leave a Comment