Peran Aktif Penegak Hukum dalam Keadilan Restoratif Dibutuhkan

Ali Yusuf SH
Ali Yusuf SH

Penegak hukum Polisi, Jaksa dan bahkan advokat harus aktif menerapkan Keadilan Restoratif (Restoratif Justice) dalam menangani semua perkara tindak pidana umum kecuali diatur dalam ketentuan tidak bisa dilakukan Restoratif Justice (RJ).

Penerapan RJ sesuai dengan asas hukum ultimum remedium yang artinya pemidanaan atau sanksi pidana merupakan upaya terakhir diterapkan kepada pelakunya.

Sederhananya RJ adalah penyelesaian masalah hukum di luar sistem hukum yang melibatkan korban dan pelaku demi tercapai keadilan. Karena pada prinsipnya hukum tertinggi adalah keadilan.

Setiap intansi penegak hukum memiliki aturan yang mengatur tentang RJ. Di intansi Polri ada di Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 8 tahun 2021 tentang penangan tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kapolri (Perkap) No. 6 tahun 2019 Tentang Tindak Pidana.

Di intansi Kejaksaan ada di Perja No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadialan Restoratif, dan Surat Keputusan Dirjen Badikum MA No.1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restoratif Justice di Lingkungan Peradilan Umum.

Karena sudah banyak ketentuan yang mengatur tentang RJ, untuk itu sering muncul berita di media massa penegak hukum tidak melanjutkan perkaranya karena sudah ditempuh melalui RJ.

Meski sudah banyak ketentuan yang mengatur dan praktiknya sering diberitakan media massa tentang penerapan keadilan RJ yang dilakukan penegak hukum di Kejaksaan maupun di Kepolisian, masih banyak masyarakat yang belum paham bagaimana menempuh RJ dan bahkan belum menjadi program utama di intansi penegak hukum.

Buktinya masih banyak pelaku tindak pidana dengan kerugian tidak seberapa dan bisa diganti dengan permintaan maaf atau uang masih harus diputus hakim yang akhirnya mendekam dipenjara.

Seperti beberapa terjadi pada guru Supriyani yang dilaporkan wali muridnya harus bolak balik diperiksa di kepolisian dan pengadilan, Nyoman Sukena ditangkap karena memelihara landak Jawa, dan Piyono juga dipenjara karena tidak sengaja memelihara ikan Aligator dan banyak lagi perkara-perkara yang sebenarnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan, harus diganti dengan hukuman badan.

Sedih sekali mendengarnya ya sahabat AlyLaw, semoga tidak menimpa sahabat AlyLaw….”

Jadi, pada praktiknya penerapan RJ tidak mudah seperti yang dibayangkan dan tidak mudah sebagaimana kata “Restoratif Justice” ini diucapkan. Berdasarkan pengalaman mendampingi seseorang (klien) baik sebagai terlapor maupun pelapor, permohonan penanganan perkara melalui RJ begitu angel alias susah.

Faktor Penyebab

Berdasarkan pengalaman penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan penerapan RJ sulit dicapai. Bahkan bisa atau tidaknya suatu tindak pidana bisa diselesaikan melalui RJ harus rela menyediakan waktu, tenaga dan biaya.

Karena penyelesaian perkara melalui RJ perlu persetujuan para pihak melalui musyawarah, negoisasi yang bisa menyita waktu sampai berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan dan bahkan tahunan.

Berdasarkan pengalaman penulis, setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan RJ sulit tercapai pertama minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat secara teori dan praktik, baik sebagai terlapor maupun pelapor terkait penyelesaian perkara melalui kekeluargaan sebenarnya lebih murah dan cepat.

“Jadi, perlu ada pemahaman yang sama di antara pelapor dan terlapor juga penegak hukum, bahwa menyelesaikan masalah melalui RJ lebih baik daripada di persidangan,”.

Kedua sikap pasif penegak hukum dalam penyelesaian perkara melalui RJ. Sering kali sikap pasif penegak hukum membuat penyelesaian perkara melalui RJ sulit dicapai.

Pada praktiknya, penegak hukum menyerahkan sepenuhnya kepada terlapor dan pelapor untuk menyelesaikan masalah melalui RJ. Baru setelah masing-masing sepakat para pihak menyampaikan kepada penegak hukum bahwa masalahnya sudah diselesaikan melalui RJ maka laporan polisi (LP) terhadap dugaan tindak pidana yang dilakukan terlapor dicabut.

Namun, sebaliknya, jika tidak ada kesepakatan melalui RJ maka perkara yang dilaporkan ke penegak hukum di Kepolisian dilanjutkan sampai berkas perkaranya dilimpahkan ke pengadilan untuk segera disidangkan.

Tidak ada kesepakatan ini misalnya bisa dilihat dari contoh kasus sebagai berikut:

Dalam satu peristiwa akhirnya Si A harus melaporkan si B ke Polisi di tingkat Polres karena B telah menggadai harta bergeraknya berupa satu unit mobil ke si C. Kita sepakati misalnya si B menggadai mobil ke si C itu dengan nilai Rp 50 juta dan dalam waktu dua minggu si B akan menebus kembali mobil yang telah digadaikan itu ke si C.

Kodarullah ternyata pada saat waktu penebusan sudah tiba C tidak mau kendaraannya ditebus oleh si B dengan harga Rp 50 juta, karena C ingin mobilnya itu ditebus sebesar Rp 80 juta.

Sampai pada akhirnya, si B harus ditahan karena tidak bisa menebus mobil si A. Si B tidak bisa menebus mobil yang digadaikannya ke si C karena C meminta Rp 80 juta.

Akhirnya setelah pelapor si A dan terlapor si B sepakat masalah ini diselesaikan melalui RJ dengan cara B mengganti mobil si A yang digadaikan ke si C itu sebesar Rp 100 juta, namun B menyatakan tidak sanggup, karena si B hanya menerima uang gadaian mobil dari si C sebesar Rp 35 juta bukan Rp 100.

Si B berdalih bahwa bukan dia tidak mau menebus kembali mobil yang digadainya ke si C. Karena si C minta tiga kalipat mobil itu ditebus. Sehingga akhirnya penyelesain perkara melalui keadilan RJ tidak tercapai, karena terlapor B dan pelapor A tidak sepakat dengan nilai uang pengganti dan pada akhirnya B tetap ditahan.

Sementara karena sifatnya pasif penyidik yang menangani perkara ini tidak bisa berbuat apa-apa jika masing-masing tidak sepakat dengan uang pengganti. Akhirnya si B tetap ditahan sampai berkas perkara lengkap.

Pada kondisi deadlock itu sikap aktif penegak hukum diperlukan, melalui mekanisme gelar perkara ulang sesuai Pasal 33 Perkap Kapolri No 6 tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana bisa melakukan telaah apakah permintaan pelaporan kepada terlpor realistis atau tidak, terlebih terlpor sudah menjalani masa tahanan.

Penegak hukum juga bisa menelaah kesanggupan pembayaran ganti rugi ganti rugi dari terlapor apakah nilai tersebut memenuhi rasa keadilan bagi pelapor atau tidak. Kuncinya dalam menyelesaikan masalah pidana melalui RJ ini adalah sikap aktif dan bijaksana penyidik.

Demikian.

51 thoughts on “Peran Aktif Penegak Hukum dalam Keadilan Restoratif Dibutuhkan”

Leave a Comment