Oleh: Ketua LBH PELITA UMAT, Chandra Purna Irawan
Mengutip informasi dari salah satu kantor berita, nama eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, belakangan ini menjadi sorotan publik. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula periode 2015-2016 oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Selasa, 29 Oktober 2024.
Dalam keterangan resminya, Kejagung menyatakan bahwa kasus ini menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 400 miliar. Kerugian tersebut berasal dari potensi keuntungan yang seharusnya diterima oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) sebagai badan usaha milik negara (BUMN). Kejagung menjerat Tom Lembong dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Sehubungan dengan hal tersebut, saya ingin menyampaikan pendapat hukum sebagai berikut:
1. Pendapat Hukum Terkait Kebijakan
Pendekatan pidana dalam ranah hukum administrasi perlu ditinjau ulang. Kebijakan merupakan bagian dari hukum administrasi, sehingga jika terdapat kekeliruan, kebijakan tersebut dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh pembuatnya (asas contrarius actus).
Jika kebijakan tersebut bersifat konkret dan individual (beschikking), maka dapat dibatalkan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN). Sementara itu, jika bersifat umum dan abstrak (regelling), maka dapat diajukan Hak Uji Materiil (HUM) di Mahkamah Agung.
Jika terjadi kesalahan dalam kebijakan, sanksi yang tepat adalah sanksi administratif dari atasan, bukan sanksi pidana. Penerapan hukum pidana dalam ranah kebijakan berpotensi mengacaukan sistem hukum.
Namun, pengecualian berlaku jika terdapat “persekongkolan jahat” untuk melakukan “tindakan kejahatan”, di mana kejahatan tersebut tidak dapat terjadi tanpa adanya kebijakan. Dalam hal ini, yang dapat dipidana adalah persekongkolan dan tindakan kejahatannya, bukan kebijakannya itu sendiri, karena kebijakan tidak masuk dalam ranah pidana.
2. Pendapat Hukum Terkait “Potensi Kerugian Negara”
Jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan merugikan keuangan negara, tetapi dasar tuduhannya berasal dari “potensi keuntungan” yang seharusnya diperoleh negara melalui perusahaan milik negara, maka hal ini perlu dikaji lebih dalam.
Menurut hemat saya, “potensi keuntungan” tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Secara logika kebalikan (contrario), frasa tersebut menunjukkan bahwa uang tersebut belum menjadi milik negara. Dalam hukum pidana, unsur “merugikan keuangan negara” harus diartikan sebagai berkurangnya uang negara yang nyata dan pasti, bukan hanya sekadar potensi keuntungan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK, kerugian negara/daerah didefinisikan sebagai:
“Kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai.”
Dengan demikian, unsur “kerugian keuangan negara” merupakan delik materil. Artinya, kerugian tersebut harus benar-benar ada, nyata, dan pasti, bukan sekadar kemungkinan atau potensi. Jika “potensi keuntungan” dijadikan dasar tuduhan, maka hal ini akan menimbulkan ketidakjelasan hukum (obscuur).
Demikian pendapat hukum saya.
Terima kasih.
📷 IG: @chandrapurnairawan