Proses Berfilsafat Nabi Ibrahim Menginspirasi Rene Descartes?

WhatsApp Image 2024 06 26 at 10.03.27 AM
Ali Yusuf SH saat di KPK.

Oleh: Ali Yusuf

Alquran kitab suci umat Islam merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan “Master Book”. Semua formula tentang ilmu pengetahuan diperkenalkan di dalam Alquran salah satunya tentang praktik berpikir atau berfilsafat.

Berpikir merupakan poin inti dari filsafat yang memikirkan sesuatu secara mendalam. Artinya filsafat adalah seni berpikir untuk menemukan sesuatu yang sebelumnya diragukan.

Para ilmuwan berpendapat bahwa filsafat adalah “mother of science” induknya ilmu pengetahuan.  Banyak ayat di dalam Alquran yang berkaitan dengan filsafat (berpikir) salah satunya di dalam surat Al-Baqarah ayat 44.

Tidakah kamu berpikir,”

Jika fisafat adalah seni berpikir maka Nabi Ibrahim bapanya filsafat, karena dari hasil perikirnya Nabi Ibrahim menemukan Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan sang pencipta alam semesta.

Kisah Nabi Ibrahim dibahas di sembilan surah dalam Alquran (Al-Baqarah, Al-An’am, At-Taubah, Ibrahim, Maryam, Al-Anbiya, Asy-Syura, Ash-Shafaat dan Al-Zukhruf).

Dari sembilan surah itu, hanya surah Al-An’am ayat 76 sampai 83 menceritakan detail bagaimana bapaknya para nabi berfilsafat untuk mencari keyakinannya yakni “Tiada Tuhan Yang Patut Disembah Selain Allah” melalui proses berpikir alias berfilsafat.

Proses Filsafat Nabi Ibrahim 

Proses berfilsafat Nabi Ibrahim diawali dari ayat 76 yang artinya.

Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata. “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”

Begitu juga ketika Nabi Ibrahim melihat bulan dan matahari yang ketika terbit dia bercahaya dan redup cahaya keduanya ketika tenggelam.

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” (Ayat 77).

Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (Ayat 78).

Nabi Ibrahim menyatakan tidak suka terhadap bulan, matahari dan bintang karena cahanya tidak abadi (tenggelam).  Menurut tafsir Al-Muyassar Kementerian Agama Saudi Arabia ayat 78 ini ketika Ibrahim melihat matahari telah terbit sedangkan matahari juga telah dijadikan kaumnya sebagai Tuhan selain Allah, maka dia berkata kepada kaumnya sebagai bentuk sindiran.

Inilah tuhanku, ini adalah bintang yang paling besar”. Dan yang dimaksud Ibrahim adalah: “Apakah ini tuhan yang kalian percayai?”

Namun ketika matahari itu tenggelam dengan datangnya malam, ia berkata: “Aku berlepas diri dari kesyirikan kalian dengan menyembah berhala dan bintang-bintang. Ketika Ibrahim menyebutkan ‘matahari’, dia menggunakan kata tunjuk ‘هذا’ dan tidak menggunakan ‘هذه’ agar perkataannya mempunyai satu gaya bahasa.

Dan ini juga sebagai penyucian kata ‘Tuhan’ sepenuhnya sehingga tidak menjadikannya bersanding dengan tanda-tanda kata bentuk muannast, dan karena kata ‘الشمس’ (matahari) bukan merupakan kata muannast hakiki, namun muannast secara majas.

Al-Muyassar mengatakan, Nabi Ibrahim telah berhasil menyampaikan kebenaran kepada kaumnya dengan menjelaskan bahwa menyembah bintang-bintang merupakan hal yang batil, dan dengan kembali kepada fitrah manusia sesuai dengan penciptaan Allah, yaitu untuk menyembah dan mengesakan-Nya.

Setelah Nabi Ibrahim mendeklarasikan bahwa bintang, bulan dan matahari tak patut disembah, di sinilah Nabi Ibrahim mulai mengenal Allah SWT yaitu Tuhan yang patut disembah. Bagaimana Nabi Ibrahim mengenal Tuhannya itu diabadikan ayat 79.

Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

Menurut tafsir Al-Mukhtashar, Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) bahwa ayat 79 itu tafsirnya. “Sesungguhnya aku memurnikan agamaku hanya kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, serta berpaling dari ajaran syirik menuju ajaran tauhid yang murni. Dan aku bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik yang menyembah tuhan lain bersama menyembah Allah.”

Namun kaumnya itu setelah dikenalkan tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah itu bukan percaya dan mengikuti keyakinan Ibrahim malah membantahnya bahkan membakar Nabi Ibrahim. Meski dibantah Nabi Ibrahim tetap teguh pendiriannya.

Bantahan kaumnya itu diabadikan dalam ayat 80 yang artinya. “Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: “Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku”. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)?”

Setelah dibantah oleh umatnya, dalam ayat 81 Nabi Ibrahim menegaskan bahwa dia tidak merasa takut terhadap berhala-berhala yang umatnya sembah. Ayat 81 yang artinya.

Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui?

Dalam ayat selanjutnya yakni 82 Nabi Ibrahim mengatakan bahwa “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Atas usaha mengenalkan ketauhidan kepada umatnya itulah Allah memuliakan nabi Ibrahim dengan memberikan hujjah atau pandai memecahkan suatu tanda melalui argumentasi. Hal ini seperti diabadikan dalam ayat 83 yang artinya.

Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”

Menurut tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah/Markaz Ta’dzhim Alquran di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur’an Universitas Islam Madinah bahwa yang dimaksud hujjah dalam ayat 83 itu adalah.

“Allah telah memberi Nabi Ibrahim hujjah-hujjah dan bukti-bukti yang dipakai untuk mendebat kaumnya, sehingga dia dapat mengalahkan mereka. Dan Allah telah memberinya ilmu, hikmah, dan keyakinan. Allah Maha Bijaksana dalam pengaturan-Nya.

Dari hasil berpikir itu Nabi Ibrahim bertanya dan menjawab sendiri. Inilah sebuah proses berfilsafat yang sempurna karena Nabi Ibrahim berhasil memecahkan persoalan tentang siapa Tuhan yang patut disembah.

Proses Filsafat Ibrahmi Menginpirasi Rene Descrates

Proses berfilsafat Nabi Ibrahim ternyata telah menginspirasi Rene Descrates. Penulis mengakui bahwa belum menemukan literasi tentang Rene Descrates mempelajari Alquran, sehingga lahirlah kata-kata mutiara Descrates yang dikenal seluruh dunia yaitu.

Aku ragu maka aku ada” atau “Aku berpikir, maka aku ada” (cogito ergo sum).

M. T. Mishbah Yazdi dalam bukunya Kitab Filsafat Pendekatan Komparatif Fisafat Islam jilid 1 mengatakan bahwa, Rene Descrates (1596-1650) merupakan filsuf Prancis yang digelari sebagai Bapak filsafat modern. Setelah lama merenung dan meneliti, Rene muncul dengan sebuah pijakan untuk mengokohkan kuda-kuda pemikiran filsafat.

Pijakan fundamental Descretes dapat diringkaskan dalam diktum terkenalnya “Aku ragu maka aku ada.” Atau aku berpikir, maka aku ada,” tulis M.T Mishbah.

Yakni, kata Mishbah bagaimanapun orang itu meragukan “Ada” segala sesuatu, ia tidak akan pernah meragukan “Ada dirinya sendiri“. Mengingat keraguan apapun tidak bermakna tanpa subjek ragu maka ada manusia perahu dan pemikir adalah sesuatu yang tak bisa diragukan.

Descrates lantas merumuskan kaidah-kaidah berpikir yang serupa dengan hukum-hukum matematika untuk memecahkan masalah-masalah filsafat. Di zaman kekacauan intelektual seperti pada masanya, pemikiran dan gagasan Descrates telah menjadi sumber ketentraman bagi banyak cendekia sejumlah pikiran besar lain seperti Gottfried W.Leibniz (1646-1716), B.Spinoza (1632-1677), DAB Nicolas Malebranche (1638-1715), yang juga memperoleh tonggak Filsafat Modern.

Telaah Penyataan Descrates dengan Proses Berfilsafat Nabi Ibrahim 

Sekali lagi penulis mengakui belum menemukan literasi persinggungan Descrates dengan proses berfilsafatnya Nabi Ibrahim seperti yang diabadikan di dalam surat al-An’am  ketika melihat bintang, bulan dan matahari. Namun dari pernyataannya Descrates “Aku Ragu Maka Aku Ada atau Aku Berpikir Maka Aku Ada” ini sama dengan proses berfilsafat Nabi Ibrahim yang bertanya tentang bintang, bulan dan matahari.

Dari pertanyaan tentang “Ada” inilah Nabi Ibrahim menemukan bahwa “Ada Allah” pencipta alam semesta termasuk bintang, bulan, mata hari. Atas proses berpikirnya “Tentang Ada” ini juga Nabi Ibrahim diabadikan “Ada” namanya di dalam Alquran surah Al-Hajj dan surah Anisa oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebagai bentuk apresiasi Allah SWT atas proses berpikirnya ini juga Nabi Ibrahim dijuluki Bapaknya Para Nabi.

“….Ikutilah agama nenek moyangmu Ibrahim.” Surah Al-Hajj ayat 78.

Dan Ibrahim juga mendapat predikat orang yang dicintainya.

“….Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” Anisa Ayat 125.

Melalui dua surat di atas itulah sudah cukup disimpulkan bahwa itulah yang dimaksud “Aku Berpikir Maka Aku Ada” . Untuk itu mari kita berfilsafat (berzikir) agar selalu diingat Allah oleh Allah SWT.

Maka ingatlah kepada-Ku niscaya Aku akan ingat (pula) kepadamu” Al-Baqarah ayat 152.

Asbab orang berpikir (berfilsafat) besi bisa terbang (jadi pesawat) dan mengambang (jadi kapal laut) dan banyak lagi sesuatu menjadi wujud asbab orang berpikir.

Leave a Comment