Eksepsi dalam Hukum Perdata: Exceptio Non Adimpleti Contractus dan Misbruik van Omstandigheden

Oleh: M. Jaya, S.H., M.H., M.M (Advokat Senior)
M. Jaya, S.H., M.H., M.M (Advokat Senior)

Oleh: M. Jaya, S.H., M.H., M.M., dan Eko Sulis Setiadi, S.H.

Jakarta, 3 Maret 2025

Bersama ini, kami sampaikan dua macam eksepsi yang sering kali dipergunakan oleh advokat senior maupun para advokat dari law firm besar di Indonesia untuk menangkis dalil-dalil gugatan dari penggugat bagi kepentingan kliennya sebagai tergugat.

Dalam hukum perdata, Exceptio Non Adimpleti Contractus dan Misbruik van Omstandigheden adalah dua bentuk “eksepsi” atau pembelaan hukum yang digunakan dalam sengketa kontrak.

Kedua eksepsi ini memiliki peran penting dalam melindungi hak-hak pihak yang merasa dirugikan dalam kontrak.

Exceptio Non Adimpleti Contractus umumnya dikenal dalam hukum perjanjian. Prinsip ini dipergunakan dalam kondisi di mana salah satu pihak melakukan wanprestasi justru karena pihak lain telah terlebih dahulu melakukan wanprestasi.

Exceptio Non Adimpleti Contractus ini merupakan suatu eksepsi atau tangkisan untuk menyatakan bahwa salah satu pihak belum memenuhi prestasi yang ditetapkan, oleh karenanya ia tidak dapat menuntut pihak lain wanprestasi.

Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus dapat diartikan sebagai suatu bentuk pembelaan bagi salah satu pihak (debitur) untuk mendapatkan pembebasan terhadap kewajiban untuk membayar ganti rugi akibat tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah disepakati, dengan alasan bahwa pihak yang lain (kreditur) juga telah lalai.

Apabila salah satu pihak menuntut pihak yang lain karena wanprestasi padahal jelas bahwa ia terlebih dahulu melakukan wanprestasi, maka pihak yang dituntut itu memiliki kesempatan untuk mengajukan tangkisan.

Tangkisan/eksepsi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan sepanjang dapat dibuktikan bahwa pihak yang menuntut itu telah secara nyata melakukan wanprestasi terlebih dahulu.

Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus tidak dapat dipisahkan dalam hukum perjanjian, maka perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai seluk beluk ketentuan hukum perjanjian itu sendiri.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian dibahas dan dapat ditemukan dalam buku ketiga yang menjelaskan tentang perikatan. Perikatan dan perjanjian memiliki hubungan yang berkaitan.

Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa, “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang.”

Perjanjian disebut juga dengan persetujuan, karena dalam perjanjian itu kedua pihak sama-sama saling setuju terhadap sesuatu yang disepakati. Perjanjian dan perikatan dapat dibedakan, bahwa pada dasarnya perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan di samping sumber-sumber lain.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perjanjian adalah perikatan, tetapi tidak setiap perikatan merupakan perjanjian.

Perjanjian jual beli sebagai perjanjian timbal balik, mewajibkan kedua belah pihak untuk melakukan prestasi. Maka dari itu, sebelum kreditur dapat mengajukan tuntutan kepada debitur atas dasar wanprestasi, dengan kata lain, kreditur harus memenuhi kewajibannya kepada pihak lain.

Hal tersebut merupakan suatu ketentuan umum yang patut dan logis, karena jika kreditur sendiri wanprestasi, bagaimana ia mau mempersalahkan orang lain atas dasar wanprestasi.

Exceptio Non Adimpleti Contractus merupakan salah satu bentuk tangkisan dari tuduhan adanya wanprestasi.

Adapun tangkisan ini dapat dimaknai sebagai upaya hukum yang memungkinkan salah satu pihak untuk menahan pekerjaannya sendiri, disertai dengan hak untuk menolak klaim atas pekerjaan tersebut sampai pihak lain telah melaksanakan kewajibannya secara sepatutnya berdasarkan kontrak.

Jenis Exceptio Non Adimpleti Contractus ini hanya berlaku pada perjanjian timbal balik yang mewajibkan para pihak dalam melakukan prestasi.

Penerapan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus lebih mudah dipahami dengan menelusuri contoh sebagaimana dapat ditemukan dalam pelaksanaan jual beli.

Dalam perjanjian jual beli, penjual dan pembeli memiliki kewajiban yang mesti dilakukan sebelum mendapatkan hak mereka masing-masing.

Berdasarkan Pasal 1478 KUHPerdata, disebutkan bahwa “penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya.”

Ini berarti kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang menjadi objek jual beli tertunda sampai pembeli membayarkan sejumlah harga yang telah ditetapkan.

Sedangkan dari sisi pembeli, dapat dilihat dalam Pasal 1513 KUHPerdata, bahwa “kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana yang ditetapkan menurut perjanjian.”

Oleh karena itu, untuk mendapatkan barang yang diperjualbelikan, pembeli harus terlebih dulu memenuhi kewajibannya, yaitu membayar sejumlah uang yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

Mengingat bahwa di dalam suatu perjanjian timbal balik, prestasi dari masing-masing pihak berhubungan erat satu dan yang lainnya. Apabila salah satu pihak menuntut pemenuhan kewajiban dari pihak lain, maka ia sendiri mesti sudah menyelesaikan apa yang menjadi kewajibannya.

Dalam hal ini, jika pembeli belum membayar harga pembelian, maka ia tidak bisa menuntut penjual untuk memberikan barangnya.

Apabila pembeli tetap bersikukuh untuk menuntut penjual memberikan barangnya tersebut padahal ia sendiri belum membayarkan harga pembeliannya itu, barulah mestinya penjual punya alasan untuk menggunakan Exceptio Non Adimpleti Contractus.

Karena, penjual tidak melakukan prestasi tersebut justru disebabkan pembeli jelas-jelas belum memenuhi prestasi yang diwajibkan.

Selain itu, ada supplier yang mensuplai barang tertentu kepada seseorang, guna kepentingan dalam suatu proyek. Namun akibat keterlambatan pensuplaian itu, menyebabkan pengerjaan proyek terhambat dan kontraktor terlambat dalam menerima pembayaran.

Adapun menurut Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan bahwa jual beli ataupun supplier dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah kedua belah pihak mencapai kata sepakat tentang barang dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar, hal ini sesuai asas konsensualisme dalam perjanjian, yakni sepakat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Di dalam hukum Indonesia sendiri, keberadaan Exceptio Non Adimpleti Contractus sebagai salah satu prinsip hukum keperdataan masih diakui. Jejak keberadaannya tersebut dapat ditelusuri dalam beberapa putusan pengadilan.

Berkaitan dengan hal ini, terdapat salah satu yurisprudensi mengenai prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 15 Mei 1957 Nomor 156 K/SIP/1955 dalam perkara perdata antara PT. Pacific Oil Company melawan Oei Ho Liang dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999 dalam perkara kepailitan antara PT. Waskita Karya melawan PT. Mustika Princess Hotel.

Kasus tersebut bermula dari PT. Pacific Oil yang melakukan tuntutan kepada tergugat Oei Ho Liang sebagai penjual dalam perjanjian jual beli karet, di mana karena kelalaian tergugat dalam menjalankan perjanjian, tergugat harus membayarkan ganti rugi.

Dalam suratnya tertanggal 27 Januari 1950, telah dinyatakan bahwa tergugat tidak akan menyerahkan barang-barang tersebut.

Maka dengan hal tersebut, tergugat dinyatakan lalai. Selanjutnya, hal tersebut ditangkis oleh tergugat dengan dalih bahwa penggugat telah lalai dalam melakukan prestasinya, yaitu dengan tidak membayarkan sejumlah harga yang disepakati pada tanggal 12 Januari 1950 pada waktu 12.00 WIB.

Adapun tuntutan penggugat akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta karena penggugat sendiri telah lalai, maka tidak berhak mengajukan tuntutan sesuai dengan Pasal 1267 KUH Perdata. Adapun banding yang pernah dilakukan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 2 Desember 1953 dengan putusan nomor 218/1953 P.T. Perdata, di mana berdasarkan putusannya hakim menyatakan bahwa penggugat telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu, maka penggugat tidak dapat menuntut pemenuhan perjanjian kerjasama tersebut.

PT. Waskita Karya melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam kasasinya, PT. Waskita Karya memberikan alasan bahwa Pengadilan Niaga telah salah menerapkan hukum Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 Ayat (3) UU No.4 tahun 1998 tentang adanya hutang yang jatuh tempo dan salah menerapkan adanya hutang pada kreditor lain.

Namun, majelis hakim berpendapat bahwa kasus tersebut termasuk dalam prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus yang seharusnya diselesaikan melalui pengadilan biasa.

Selanjutnya terdapat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dapat dijadikan rujukan, yaitu Putusan MA RI Nomor 23K/N/1999 yang menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 35/Pailit/1999/PN.Niaga/i.Jkt.Pst.

Di mana pada intinya menyampaikan bahwa penyelesaian perkara berkaitan dengan masalah Exceptio Non Adimpleti Contractus dalam perjanjian timbal balik ditambah masalah ipso jure compensatur (perjumpaan hutang demi hukum) tidak diselesaikan dengan menggunakan prosedur peradilan niaga, melainkan harus melalui mekanisme penyelesaian perdata biasa, karena diperlukan pembuktian yang rumit dan berkepanjangan.

Gugatan pailit PT Prima Jaya Informatika kepada PT Telkomsel diawali pada saat perjanjian kerja sama telah dilanggar oleh salah satu pihak.

Pada tanggal 14 September 2012, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah membuat putusan nomor 48/PAILIT/2012 PN.Niaga.Jkt.Pst yang isinya sangat mengejutkan, yaitu bahwa PT. Telekomunikasi Selular yang selanjutnya disebut sebagai PT. Telkomsel dinyatakan pailit.

Pengadilan Niaga memvonis pailit PT. Telkomsel atas permohonan pailit dari PT. Prima Jaya Informatika. Kemudian atas putusan tersebut, PT. Telkomsel mengajukan kasasi.

Dalam putusan kasasi dengan nomor putusan No. 704K Pdt.Sus/2012, diungkapkan bahwa pada awal tahun kedua berjalannya perjanjian kerjasama, tepatnya pada tanggal 20 Juni 2012, PT. Prima Jaya Informatika menyampaikan Purchase Order dengan nomor NO.PO/PJI-AK/VI/2012/00000027 dengan nilai Rp 2.595.000.000,00 (dua milyar lima ratus sembilan puluh lima juta rupiah). Kemudian pada tanggal 21 Juni 2012, PT. Prima Jaya Informatika menyampaikan Purchase Order dengan nomor No.PO/PJI-AK/VI 2012/00000028 dengan nilai Rp 3.025.000.000,00 (tiga milyar dua puluh lima juta rupiah), lalu PT. Telkomsel menerbitkan penolakan atas kedua Purchase Order tersebut melalui email.

Seperti halnya dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 653/Pdt/2019/PT DKI, prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus dijadikan oleh salah satu hakim dalam majelis untuk mengutarakan dissenting opinion saat memberikan putusan.

Meskipun hanya sekadar menjadi landasan untuk mengeluarkan dissenting opinion, ini telah membuktikan bahwa prinsip tersebut hingga saat ini tetap eksis dalam sistem hukum yang berlaku.

Karena tentu saja prinsip tersebut tidak dapat serta merta diterapkan, melainkan harus didukung oleh bukti-bukti kuat yang disampaikan dalam persidangan.

MISBRUIK VAN OMSTANDIGHEDEN (PENYALAHGUNAAN KEADAAN), SUATU TINJAUAN SINGKAT

  1. Hakekat dari Misbruik Van Omstandigheden adalah untuk melindungi pihak yang lemah atau dalam situasi terdesak dari eksploitasi oleh pihak yang lebih kuat atau memiliki kedudukan dominan. Prinsip ini bertujuan untuk memastikan bahwa kontrak atau perjanjian dibuat dengan dasar kehendak bebas dan kesetaraan, tanpa adanya tekanan atau pemaksaan yang tidak adil.
  2. Konsep ini menegaskan bahwa kesepakatan yang terjadi karena adanya penyalahgunaan keadaan atau ketimpangan kekuatan harus dianggap tidak sah karena melanggar prinsip keadilan. Dengan demikian, Misbruik Van Omstandigheden berfungsi sebagai mekanisme perlindungan dalam hukum kontrak dan perdata, memastikan bahwa semua perjanjian didasarkan pada itikad baik dan keadilan.
  3. Misbruik Van Omstandigheden adalah konsep dalam hukum perdata yang berarti penyalahgunaan keadaan. Ini terjadi ketika satu pihak memanfaatkan situasi atau kondisi tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil dari pihak lain. Misalnya, jika seseorang memanfaatkan keadaan darurat orang lain untuk membuat mereka menandatangani kontrak yang sangat merugikan, itu dianggap sebagai penyalahgunaan keadaan.

Konsep ini penting dalam memastikan bahwa kontrak dan perjanjian dibuat secara adil dan tidak berdasarkan tekanan atau paksaan yang tidak wajar dari pihak yang lebih kuat.

Secara umum ada dua macam penyalahgunaan keadaan, yaitu:

  • Pertama, saat seseorang menggunakan posisi psikologis dominannya supaya menyetujui sebuah perjanjian.
  • Kedua, saat seseorang menggunakan wewenang kedudukan dan kepercayaannya.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan bahwa jika di dalam perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Konstruksi penyalahgunaan keadaan sebagai cacat kehendak membawa konsekuensi perjanjian dapat dimohonkan pembatalannya (vernietigbaar) kepada hakim oleh pihak yang dirugikan.

Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan syarat subjektif perjanjian. Salah satu pihak menyalahgunakan keadaan yang mengakibatkan pihak lawan tidak dapat menyatakan kehendak secara bebas.

Van Dunne membedakan penyalahgunaan menjadi dua yaitu:

  1. Persyaratan penyalahgunaan keunggulan ekonomis.
    • a. Satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain.
    • b. Pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian.
  2. Persyaratan penyalahgunaan keunggulan psikologis atau kejiwaan.
    • a. Salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami-istri, dokter-pasien, pendeta-jemaat.
    • b. Salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan.

Selain Misbruik van Omstandigheden atau yang dikenal dengan undue influence dalam sistem common law, sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat pula beberapa perlindungan terhadap para pihak yang berada dalam posisi tidak seimbang yang dikenal dengan duress dan unconscionability.

  1. Duress: Sebuah kontrak dikatakan dibuat di bawah duress apabila salah satu pihak dalam kontrak memasuki kontrak tersebut sebagai hasil dari paksaan di luar keinginannya.
  2. Unconscionability: Secara sederhana diidentifikasi sebagai kekuatan tawar menawar yang tidak seimbang sehingga sebuah kontrak akan dinilai sebagai kontrak yang mengandung unconscionability.
  3. Pada Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan ada tiga faktor penyebab cacat kehendak meliputi paksaan (dwang), kesesatan atau kekhilafan (dwaling), serta penipuan (bedrog). Namun, seiring dengan perkembangan hukum perjanjian, dalam Nederland Burgerlijk Wetboek (biasa disebut sebagai Niuwe BW, BW Baru) serta dalam praktik peradilan juga dikenal faktor penyebab terjadinya cacat kehendak yang baru, yakni penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden/undue influence).
  4. Ajaran mengenai penyalahgunaan keadaan tersebut merupakan hal yang relatif baru dan belum diatur dalam KUHPerdata Indonesia, sehingga di dalam penerapannya masih menimbulkan sejumlah permasalahan di antaranya mengenai tolok ukur seseorang telah melakukan penyalahgunaan keadaan tersebut. Ukuran itulah yang sebenarnya dapat menjadi dasar bagi hakim dalam menerapkan doktrin tersebut. Di dalam undang-undang di Belanda sendiri belum ada tolok ukurnya, sehingga dalam keadaan demikian hakim harus membangun tolok ukur tersebut dalam putusan-putusan.
  5. Walaupun tidak secara spesifik diatur dalam KUHPerdata, namun untuk penerapan di Indonesia dapat dirujuk dari yurisprudensi. Berikut adalah beberapa contoh yurisprudensi terkait Misbruik Van Omstandigheden (penyalahgunaan keadaan) dalam hukum perdata Indonesia:
    • Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3176 K/Pdt/2020: Dalam kasus ini, pengadilan memutuskan bahwa terdapat penyalahgunaan keadaan oleh penjual dalam pembuatan perjanjian jual beli dan surat kuasa menjual. Pengadilan mempertimbangkan bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan penyalahgunaan keadaan dan memutuskan untuk membatalkannya.
    • Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3666K/PDT/1992: Pengadilan memutuskan bahwa penggugat telah menyalahgunakan keadaan yang terdapat pada tergugat yang dalam keadaan kesulitan ekonomi, sehingga tindakan hukum yang dilakukan oleh penggugat dinyatakan batal.
    • Putusan Mahkamah Agung Nomor 106 PK/PDT/2020: Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menganggap bahwa terdapat penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh tergugat, sehingga perjanjian tersebut dibatalkan.
  6. Dalam kasus PT Indosat Tbk vs PT Lintas Teknologi Indonesia, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa perjanjian perdamaian yang dibuat pada 6 Juni 2014 antara kedua perusahaan tersebut batal dengan segala akibat hukumnya. Hakim menggunakan dalil Misbruik Van Omstandigheden (penyalahgunaan keadaan) karena diketahui bahwa perjanjian tersebut dibuat di bawah tekanan dan ancaman dari PT Indosat. Lintas Teknologi mengklaim bahwa mereka menandatangani perjanjian tersebut karena terpaksa dan di bawah iming-iming pekerjaan annual maintenance dan ekspansi pekerjaan.

Pengadilan memutuskan bahwa terdapat penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh PT Indosat, sehingga perjanjian tersebut dianggap tidak sah.

Indosat (ISAT) kalah dalam perkara melawan PT Lintas Teknologi Indonesia (LTI) terkait pembatalan perjanjian No.030/E00-E0P/PRC/14-SA tanggal 6 Juni 2014 senilai USD 2,5 juta. Perkara ini bermula saat adanya gangguan internet tanggal 2 April 2014 yang disebabkan LTI di Indosat. Pihak LTI menilai gangguan itu bukan murni kesalahannya, tetapi jaringan keamanan sistem milik Indosat sangat rapuh sehingga menimbulkan gangguan yang masif. Namun muncul klaim dari Indosat yang mengalami kerugian dan mendorong LTI menandatangani perjanjian perdamaian dengan Indosat yang mendenda LTI akibat gangguan internet tersebut sebesar USD 2,5 juta.

  1. Beberapa yurisprudensi tersebut di atas menunjukkan bagaimana pengadilan Indonesia mengaplikasikan konsep penyalahgunaan keadaan dalam berbagai kasus hukum perdata.
  2. Penilaian ada tidaknya penyalahgunaan keadaan harus dilakukan secara kasuistis. Hingga saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara limitatif menyebutkan kriteria penyalahgunaan keadaan. Oleh karena itu, maka terhadap setiap kasus harus dilihat secara obyektif-rasional mengenai situasi dan kondisi pada saat ditutupnya perjanjian dan formulasi prestasi maupun kontra prestasi pada perjanjian itu sendiri.

Kesimpulan adanya penyalahgunaan keadaan secara subyektif semata tanpa melihat kriteria obyektif dapat menyebabkan ketidakpastian hukum yang mencederai keadilan.

Untuk menentukan ada tidaknya penyalahgunaan keadaan, indikator yang dapat menjadi patokan adalah:

  1. Dari aspek formulasi perjanjian, prestasi dan kontra prestasi yang dibebankan kepada para pihak tidak berimbang secara mencolok dan bahkan tidak patut.
  2. Dari aspek proses ditutupnya perjanjian, hal itu terjadi dikarenakan adanya pihak yang menyalahgunakan keadaan sebagai akibat memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, baik berupa kelebihan secara ekonomi ataupun psikologis.

Sebagaimana lazimnya dalam tuntutan pembatalan perjanjian atas dasar cacat kehendak, maka tidak diperlukan unsur kerugian. Sudah cukup apabila dapat dibuktikan bahwa tanpa adanya penyalahgunaan keadaan, perjanjian tidak mungkin lahir.

Merugikan dapat diartikan sebagai perjanjian dipaksakan (opgedrongen). Jadi kerugian (nadeligheid) sama dengan terpaksa (onvrijwilligheid).

Menurut Parlemen Belanda, kerugian hanya disebut bahwa kerugian dalam bentuk apapun dan kerugian tidak harus ada dalam perbuatan hukum dalam arti ketidaksamaan antara prestasi-prestasi atau klausula yang berat sebelah (exoneratie atau onereuze clausules), tetapi dapat pula bersifat subyektif dan idiil. Perdebatan di Parlemen Belanda membuahkan hasil bahwa unsur kerugian ternyata tidak dicantumkan dalam Pasal 3:44 NBW.

  1. Dapat penulis simpulkan bahwa konsep penyalahgunaan keadaan bisa dipakai menjadi alasan untuk pembatalan perjanjian, yang berguna bagi para advokat dan pencari keadilan bilamana menghadapi perkara perdata dalam kaitan perjanjian atau kesepakatan yang merugikan bagi pihak yang dalam keadaan tertentu lemah dan dalam kondisi darurat.

Note:

Berikut adalah penjelasan dan klasifikasi masing-masing:

  1. Exceptio Non Adimpleti Contractus (ENAC)
    • Arti: Exceptio Non Adimpleti Contractus (ENAC) adalah pembelaan yang diajukan oleh salah satu pihak dalam kontrak yang menyatakan bahwa pihak lain belum memenuhi kewajibannya, sehingga pihak yang mengajukan pembelaan tersebut merasa tidak wajib untuk melaksanakan kewajibannya.
    • Klasifikasi: Termasuk dalam eksepsi dilatoir atau eksepsi penundaan. Artinya, pembelaan ini bersifat menunda pemenuhan kewajiban hingga pihak lain terlebih dahulu memenuhi kewajibannya.
    • Contoh: Jika dalam perjanjian jual beli, pihak pembeli menolak membayar karena penjual belum menyerahkan barang sesuai yang disepakati.
  2. Misbruik van Omstandigheden
    • Arti: Misbruik van Omstandigheden berarti “penyalahgunaan keadaan”. Ini adalah eksepsi yang diajukan oleh salah satu pihak dalam kontrak yang merasa telah dipaksa atau dimanfaatkan dalam keadaan tertentu untuk menyetujui kontrak, sehingga kontrak tersebut dianggap tidak sah.
    • Klasifikasi: Termasuk dalam eksepsi peremptoir atau eksepsi penghapusan. Artinya, eksepsi ini bertujuan untuk membatalkan suatu kontrak atau menyatakan bahwa kontrak tidak memiliki kekuatan hukum karena dibuat berdasarkan penyalahgunaan keadaan.
    • Contoh: Seseorang menandatangani kontrak di bawah tekanan atau karena kondisi yang membuat mereka tidak memiliki pilihan lain, misalnya saat sedang dalam situasi ekonomi yang sulit.

Sumber Rujukan:

  • Harahap, M. Yahya. 2017. Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.
  • Sutantio, Ny. Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. 2019. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (Edisi Revisi). Bandung: Mandar Maju.
  • EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS PADA KASUS WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI Hasna Farida Brilianto, Devi Siti Hamzah Marpaung. Fakultas Hukum, Ilmu Hukum, Universitas Singaperbangsa Karawang.
  • Rendy Saputra, Kedudukan Penyalahgunaan Keadaan dalam Hukum Perjanjian Indonesia, Jakarta: Gajahmada University Press, 2019.
  • KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), Jakarta: Penerbit Gramedia, 2020.
  • Feryanti Simarsoit, Studi Putusan MA No. 3176 K/Pdt/2020, Medan: Penerbit UMSU, 2023.
  • Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) Sebagai Alasan Baru Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda, Yogyakarta, Liberty, 1992).
  • Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2008.

70 thoughts on “Eksepsi dalam Hukum Perdata: Exceptio Non Adimpleti Contractus dan Misbruik van Omstandigheden”

Leave a Comment